Laman

Sabtu, 28 Juli 2012

Apa yang masih diperlukan Aceh untuk meningkatkan ketahanan terhadap Risiko Bencana ?


 Kajian ketahanan Aceh terhadap risiko bencana berdasarkan 5 prioritas aksi dan 22 indikator HFA :

1.    Memastikan bahwa pengurangan risiko bencana menjadi sebuah prioritas nasional dan lokal dengan dasar kelembagaan yang kuat untuk pelaksanaannya.
Komitmen terhadap penanggulangan bencana telah dimiliki baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota di Wilayah Aceh. Komitmen ini telah dipertegas dalam bentuk qanun ataupun peraturan lainnya dengan menyediakan berbagai sumber daya  untuk mewujudkan komitmen ini. Walau masih sangat terbatas, sumber daya ini telah tersebar diseluruh jenjang pemerintah.
Namun demikian penyebaran sumber daya  ini masih terkesan hanya untuk mengikuti aturan dari pemerintah pusat tanpa ada pemahaman makna dari penyebaran sumber daya tersebut. Hal ini dapat dilihat dari pemanfaatan sumber daya tersebut serta pemberian kewenangan yang masih bersifat sentralistik di pemerintahan.
Partisipasi masyarakat dan komunitas lain belum didorong dan diberikan ruang yang cukup luas dalam perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan sumber daya  ini. Tidak hanya untuk sumber daya , kewenangan untuk terlibat langsung dalam upaya pengurangan risiko bencana juga belum didelegasikan kepada komunitas hingga di tingkat lokal. Kondisi ini mengakibatkan lambatnya pertumbuhan ketahanan daerah ditingkat lokal dalam mengurangi risiko bencana.
Forum pengurangan risiko bencana yang dapat mempercepat pertumbuhan ketahanan daerah belum berfungsi efektif. Forum baru dibentuk di tingkat provinsi dan sebagian anggota masih belum memahami fungsi-fungsi forum dalam mempercepat peningkatan ketahanan. Sebagai lembaga non formal, forum diharapkan dapat menembus birokrasi dan kendala anggaran dengan memanfaatkan seluruh sumber daya  dan kekuatan yang dimiliki oleh anggota forum.
2.    Mengidentifikasi, menilai, dan memantau risiko bencana serta meningkatkan system peringatan dini dalam upaya pengurangan risiko bencana.
Kajian risiko bencana telah mulai dilaksanakan di Aceh. Pada tingkat provinsi, kajian ini dilaksanakan dengan menyusun peta risiko untuk 10 bencana yang berpotensi terjadi di Aceh. Peta risiko ini perlu ditingkatkan untuk mendapatkan kajian risiko bencana yang mampu memenuhi kebutuhan perencanaan daerah seperti Rencana Penanggulangan Bencana dan Rencana Kontinjensi. Peningkatan peta risiko menjadi kajian risiko sebaiknya dilaksanakan kepada penghitungan nilai aset daerah yang berpotensi terpapar bencana. Aset minimal daerah yang dihitung adalah fasilitas kritis, fasilitas publik dan rumah penduduk. Selain itu, kajian yang dilaksanakan sebaiknya telah menghitung kemungkinan risiko untuk bencana lintas batas administrasi Aceh.
Aceh telah mengembangkan sistim untuk memantau, mencatat, menganalisis dan menyebarluaskan data-data terkait potensi dan kerentanan utama bencana yang terjadi di Aceh namun belum mampu memberikan akses luas kepada seluruh pemerintah kabupaten/kota terlebih lagi masyarakat luas.
Khusus untuk bencana tsunami, sistem peringatan dini telah tersedia di Aceh dan telah didukung dengan adanya Prosedur Operasi Standar Sistem Peringatan Dini dan Tsunami. Sistem peringatan ini masih perlu dikembangkan untuk bencana-bencana lainnya. Pengembangan sistem ini amat bergantung dari hasil kajian risiko bencana yang memenuhi standar minimum nasional yang mampu memperlihatkan potensi paparan penduduk terkena dampak bencana dan potensi kehilangan aset daerah.
3.    Terwujudnya penggunaan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk membangun ketahanan dan budaya aman dari bencana di semua tingkat
Belum tersedianya kurikulum terkait pengurangan risiko bencana baik pada lembaga pendidikan formal, informal dan non formal menyebabkan pembangunan budaya keselamatan menjadi sedikit terlambat di Aceh. Namun demikian perlu dicatat bahwa inisiatif untuk mengembangkan kurikulum ini ke dalam mata pelajaran yang sudah ada pada lembaga pendidikan formal sedang digalang oleh Pemerintah Aceh. Inisiatif ini perlu dikembangkan lagi untuk penggunaan di lembaga pendidikan informal dan non formal.
Sebagai langkah lain dalam pengembangan budaya keselamatan adalah penggunaan ilmu praktis yang dapat diterapkan diseluruh segi kehidupan masyarakat untuk mengurangi timbulnya jumlah korban saat bencana dan mengurangi biaya pemulihan akibat bencana. Pengembangan ilmu praktis yang dapat diterapkan oleh masyarakat ini menjadi tanggungjawab lembaga riset baik ditingkat lokal, nasional maupun internasional.
Arah pengembangan riset untuk berkontribusi langsung dalam pembangunan budaya keselamatan perlu segera dibangun dengan strategi yang efektif. Strategi tersebut juga perlu didukung dengan strategi publikasi hasil riset yang mampu menggerakkan masyarakat untuk menggunakan hasil riset tersebut.
Tidak hanya hasil riset, strategi publikasi juga dinilai efektif untuk mengembangkan seluruh informasi terkait pengurangan risiko bencana kepada masyarakat. Penggunaan media publikasi perlu dipertimbangkan untuk menjamin keterpaparan informasi penduduk diseluruh tingkatan dan daerah.
Dari pengembangan riset dan pendidikan pada seluruh bentuk pendidikan dengan publikasi yang efektif dapat menjamin pembangunan budaya keselamatan di Aceh.
4.    Mengurangi faktor-faktor risiko dasar
Masyarakat dengan penghasilan rendah biasanya tinggal dan bergantung penghidupannya di daerah rentan. Oleh karena itu pengembangan sektor produksi dan ekonomi diprioritaskan untuk daerah rentan dan masyarakat yang bergantung pada daerah tersebut. Tidak hanya pengembangan sektor produksi dan ekonomi, pemerintah juga perlu mendukung masyarakat tersebut dengan jaringan pengamanan sosial yang memadai dan mengarahkan pembentukan kemandirian secara finansial dari masyarakat di daerah rentan. Pemerintah Aceh telah melaksanakan beberapa proyek terkait pengamanan sosial dan kesehatan. Namun fokus proyek belum diarahkan secara khusus kepada masyarakat berisiko tinggi di daerah rentan.
Selain itu perlindungan terhadap faktor-faktor risiko lain dapat dilaksanakan dengan menerapkan aturan dan kebijakan yang berhubungan dengan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam serta dengan mempertimbangkan kemampuan adaptasi daerah terhadap perubahan iklim yang sedang terjadi. Hal ini membutuhkan konsistensi dengan mengadaptasikannya kepada rencana pengelolaan lingkungan dan tata guna lahan. Hal ini telah mulai dilaksanakan oleh sebagian besar pemerintah kabupaten dan kota di Aceh, termasuk pemerintah provinsi. Namun perlu komitmen kuat untuk menjalankan perencanaan ini. Termasuk penggunaan metode reward and punishment dalam mengimplementasikan perencanaan tersebut.
Untuk memastikan tidak adanya peningkatan risiko bencana yang disebabkan oleh pembangunan, Pemerintah Aceh perlu melaksanakan mekanisme untuk menilai dampak risiko yang ditimbulkan oleh pelaksanaan proyek pembangunan berskala besar. Hal ini tidak hanya untuk menjamin keselamatan penduduk di sekitar proyek, namun juga untuk menjamin keselamatan investasi pemilik modal dari risiko bencana yang mungkin ditimbulkannya.
Tidak hanya untuk proyek pada skala besar, mekanisme ini juga perlu dilaksanakan untuk pembangunan daerah hunian masyarakat. Pembangunan daerah hunian baru ini harus mampu melindungi masyarakat penghuninya dari ancaman bencana. Demikian halnya untuk pembangunan daerah hunian baru pada masa pemulihan bencana. Pembangunan daerah hunian ini perlu mempertimbangkan unsur pengurangan risiko sehingga tidak muncul risiko bencana yang lama sekaligus menghindari kemungkinan paparan risiko baru di daerah hunian baru tersebut.
5.    Memperkuat kesiapsiagaan terhadap bencana demi respon yang efektif di semua tingkat
Seluruh kabupaten/kota di Wilayah Aceh termasuk provinsi telah membentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) yang pada skala provinsi disebut BPBA (Badan Penanggulangan Bencana Aceh). Namun demikian BPBA/BPBD yang ada di Aceh belum didukung dengan kebijakan, kapasitas teknis yang kuat untuk menjalankan mekanisme penanggulangan bencana yang tersedia, khususnya untuk penanganan kedaruratan.
Dengan belum adanya dukungan tersebut, penting untuk menyusun rencana kontinjensi untuk bencana yang mungkin terjadi pada jangka waktu dekat dalam skala besar. Rencana kontinjensi ini perlu disusun untuk mempersiapkan cadangan finansial dan mekanisme lain yang dibutuhkan untuk proses penanganan darurat bencana dan pemulihannya.
Rencana kontinjensi ini perlu disusun sebagai pendukung penerapan prosedur operasi standar penanganan darurat bencana yang telah disusun untuk bencana gempa bumi dan tsunami di Aceh.

Kamis, 02 Juni 2011

HAKIKAT ANCAMAN & BAHAYA

Ancaman atau Bahaya dalam pandangan kebencanaan adalah suatu fenomena yang terjadi secara alamiah dan atau karena aktivitas manusia yang berpotensi menimbulkan kerusakan pada kehidupan, harta benda, bangunan dan lingkungan.


Dalam Pengurangan Risiko Bencana,  bahaya dapat dikelompokkan menjadi :

1.     Bahaya Geologi ( gempa bumi, tsunami, letusan (erupsi) gunung berapi, tanah longsor).
2.    Bahaya Hidrometeorologi (banjir, kekeringan, angin kencang, gelombang pasang).
3.    Bahaya Lingkungan (kebakaran hutan, kerusakan lingkungan, pencemaran udara dan air).
4. Bahaya Teknologi (kegagalan teknologi, kecelakaan transportasi, kecelakaan industri / bocornya gas, radiasi dan sebagainya).

Dilain hal, sebenarnya manusia itu sendirilah yang seringkali menempatkan dirinya dalam bahaya. Menyimpang dari petunjuk Allah, membawa konsekwensi yang harus dibayar dengan harga mahal oleh manusia dalam kehidupannya di dunia dan kerugiannya dari memperoleh ridho Allah dan nikmat-Nya di akhirat nanti.

Disisi lain diantara bahaya yang akan menimpa manusia adalah ketika dia membuka pintu yang akan menghubungkan dirinya dengan setan-setan dan iblis-iblis   jahat yang dengan satu dan lain jalan yang sangat berbahaya sehingga mereka dapat menguasai diri manusia. Dalam hal ini dapat disimpulkan sebagai berikut :

1.    Godaan/ an-nazgh (kekhawatiran/parnok yang berlebihan terkadang membawa seseorang pada keraguan dan kerusakan akidah).
2.       Bisikan / al-hamaz (penguasaan setan atas diri manusia denga membuatnya tidak sadar).
3.  Tiupan / an-nafkh (takabur dan pongah serta menyombongkan diri terhadap makhluk-makhluk Allah lainnya)
4.     Hembusan / an-nafts  (syair  yang buruk atau ucapan ucapan kotor).
5.  Kehadiran / al-hudhur  (hadirnya setan di rumah-rumah yang dapat menghilangkan berkah dan menyebabkan malaikat tidak mau datang).
6.       Sentuhan  / al-mass (bisikan setan yang sampai pada tingkat sangat berbahaya / masuk ke badan).
7.       Kesenangan / al-istimta (tukang tukang sihir yang mendatangkan setan).
8.       Waswas / al-waswasah  (pendamping atau sahabat jahat manusia).
9.       Hasutan / al-‘uzz (mengobarkan rasa benci dengan menghasut)
10.   Turunnya Setan / at-tanazzul ( sejenis kedatangan setan yang sangat mengagumkan)
11.   Mengobarkan nafsu syahwat / al-istihwa ( pengaruh setan terhadap diri manusia untuk mempertunjukkan nafsu dan syahwatnya).
12.   Lupa / ath-tha’if (sejenis was-was yang gelap dan menyihir.

Jumat, 25 Maret 2011

FENOMENA HALO


Pesawat melintas ketika matahari mengeluarkan bias cahaya (fenomena halo) di kawasan Desa Lamroh, Kecamatan Kuta Baro, Aceh Besar, Kamis (24/3). Fenomena ini terjadi akibat cuaca panas di musim kemarau yang disertai kelembaban tinggi.(serambi)



Halo (ἅλως; disebut juga nimbus, icebow, atau Gloriole) adalah fenomena optikal berupa lingkaran cahaya di sekitar Matahari dan Bulan, dan kadang-kadang pada sumber cahaya lain seperti lampu penerangan jalan. Ada berbagai macam halo, tapi umumnya halo muncul disebabkan oleh kristal es pada awan cirrus yang dingin yang berada 5–10 km diatas troposfer. Bentuk dan lokasi kristal es menentukan tipe halo apa yang akan terlihat. Cahaya yang dipantulkan pada kristal es dapat terpecah menjadi lebih dari satu warna, sama seperi pada pelangi. Halo juga kadang-kadang dapat muncul di dekat permukaan bumi, ketika ada kristal es yang disebut debu berlian. Kejadian ini dapat terjadi pada cuaca yang sangat dingin, ketika kristal es terbentuk di dekat permukaan dan memantulkan cahaya. (wikipedia