Kajian ketahanan Aceh terhadap risiko bencana berdasarkan 5 prioritas aksi dan 22 indikator HFA :
1. Memastikan bahwa
pengurangan risiko bencana menjadi sebuah prioritas nasional dan lokal dengan
dasar kelembagaan yang kuat untuk pelaksanaannya.
Komitmen terhadap
penanggulangan bencana telah dimiliki baik pada tingkat provinsi maupun
kabupaten/kota di Wilayah Aceh. Komitmen ini telah dipertegas dalam bentuk qanun ataupun
peraturan lainnya dengan menyediakan berbagai sumber daya untuk mewujudkan komitmen ini. Walau masih
sangat terbatas, sumber daya ini telah tersebar diseluruh jenjang pemerintah.
Namun demikian
penyebaran sumber daya ini masih
terkesan hanya untuk mengikuti aturan dari pemerintah pusat tanpa ada pemahaman
makna dari penyebaran sumber daya tersebut. Hal ini dapat dilihat dari
pemanfaatan sumber daya tersebut serta pemberian kewenangan yang masih bersifat
sentralistik di pemerintahan.
Partisipasi
masyarakat dan komunitas lain belum didorong dan diberikan ruang yang cukup
luas dalam perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan sumber daya ini. Tidak hanya untuk sumber daya ,
kewenangan untuk terlibat langsung dalam upaya pengurangan risiko bencana juga
belum didelegasikan kepada komunitas hingga di tingkat lokal. Kondisi ini mengakibatkan lambatnya
pertumbuhan ketahanan daerah ditingkat lokal dalam mengurangi risiko bencana.
Forum pengurangan
risiko bencana yang dapat mempercepat pertumbuhan ketahanan daerah belum
berfungsi efektif. Forum baru dibentuk di tingkat provinsi dan sebagian anggota
masih belum memahami fungsi-fungsi forum dalam mempercepat peningkatan
ketahanan. Sebagai lembaga non formal, forum diharapkan dapat menembus
birokrasi dan kendala anggaran dengan memanfaatkan seluruh sumber daya dan kekuatan yang dimiliki oleh anggota forum.
2.
Mengidentifikasi, menilai,
dan memantau risiko bencana serta meningkatkan system peringatan dini dalam
upaya pengurangan risiko bencana.
Kajian
risiko bencana telah mulai dilaksanakan di Aceh. Pada tingkat provinsi, kajian
ini dilaksanakan dengan menyusun peta risiko untuk 10 bencana yang berpotensi
terjadi di Aceh. Peta risiko ini perlu ditingkatkan untuk mendapatkan kajian
risiko bencana yang mampu memenuhi kebutuhan perencanaan daerah seperti Rencana
Penanggulangan Bencana dan Rencana Kontinjensi. Peningkatan peta risiko menjadi
kajian risiko sebaiknya dilaksanakan kepada penghitungan nilai aset daerah yang
berpotensi terpapar bencana. Aset minimal daerah yang dihitung adalah fasilitas kritis,
fasilitas publik dan rumah penduduk. Selain itu, kajian yang dilaksanakan
sebaiknya telah menghitung kemungkinan risiko untuk bencana lintas batas
administrasi Aceh.
Aceh
telah mengembangkan sistim untuk memantau, mencatat,
menganalisis dan menyebarluaskan data-data terkait
potensi dan kerentanan utama bencana yang terjadi di Aceh namun belum mampu memberikan akses luas kepada seluruh
pemerintah kabupaten/kota terlebih lagi masyarakat luas.
Khusus
untuk bencana tsunami, sistem peringatan dini telah
tersedia di Aceh dan telah didukung dengan adanya Prosedur
Operasi Standar Sistem Peringatan Dini dan Tsunami. Sistem peringatan ini masih perlu dikembangkan untuk
bencana-bencana lainnya. Pengembangan sistem ini amat bergantung dari hasil
kajian risiko bencana yang memenuhi standar minimum nasional yang mampu
memperlihatkan potensi paparan penduduk terkena
dampak bencana dan potensi kehilangan aset daerah.
3.
Terwujudnya penggunaan pengetahuan, inovasi dan
pendidikan untuk membangun ketahanan dan budaya aman dari bencana di semua
tingkat
Belum tersedianya
kurikulum terkait pengurangan risiko bencana baik pada lembaga pendidikan
formal, informal dan non formal menyebabkan pembangunan budaya keselamatan
menjadi sedikit terlambat di Aceh. Namun demikian perlu dicatat bahwa inisiatif
untuk mengembangkan kurikulum ini ke dalam mata pelajaran yang sudah ada pada
lembaga pendidikan formal sedang digalang oleh Pemerintah Aceh. Inisiatif ini
perlu dikembangkan lagi untuk penggunaan di lembaga pendidikan informal dan non
formal.
Sebagai langkah
lain dalam pengembangan budaya keselamatan adalah penggunaan ilmu praktis yang
dapat diterapkan diseluruh segi kehidupan masyarakat untuk mengurangi timbulnya
jumlah korban saat bencana dan mengurangi biaya pemulihan akibat bencana.
Pengembangan ilmu praktis yang dapat diterapkan oleh masyarakat ini menjadi
tanggungjawab lembaga riset baik ditingkat lokal, nasional maupun
internasional.
Arah pengembangan
riset untuk berkontribusi langsung dalam pembangunan budaya keselamatan perlu
segera dibangun dengan strategi yang efektif. Strategi tersebut juga perlu
didukung dengan strategi publikasi hasil riset yang mampu menggerakkan
masyarakat untuk menggunakan hasil riset tersebut.
Tidak hanya hasil
riset, strategi publikasi juga dinilai efektif untuk mengembangkan seluruh
informasi terkait pengurangan risiko bencana kepada masyarakat. Penggunaan
media publikasi perlu dipertimbangkan untuk menjamin keterpaparan informasi
penduduk diseluruh tingkatan dan daerah.
Dari pengembangan
riset dan pendidikan pada seluruh bentuk pendidikan dengan publikasi yang efektif
dapat menjamin pembangunan budaya keselamatan di Aceh.
4.
Mengurangi faktor-faktor risiko dasar
Masyarakat dengan
penghasilan rendah biasanya tinggal dan bergantung penghidupannya di daerah
rentan. Oleh karena itu pengembangan sektor produksi dan ekonomi diprioritaskan
untuk daerah rentan dan masyarakat yang bergantung pada daerah tersebut. Tidak
hanya pengembangan sektor produksi dan ekonomi, pemerintah juga perlu mendukung
masyarakat tersebut dengan jaringan pengamanan sosial yang memadai dan mengarahkan
pembentukan kemandirian secara finansial dari masyarakat di daerah rentan.
Pemerintah Aceh telah melaksanakan beberapa proyek terkait pengamanan sosial
dan kesehatan. Namun fokus proyek belum diarahkan secara khusus kepada
masyarakat berisiko tinggi di daerah rentan.
Selain itu
perlindungan terhadap faktor-faktor risiko lain dapat dilaksanakan dengan
menerapkan aturan dan kebijakan yang berhubungan dengan pengelolaan lingkungan
hidup dan sumber daya alam serta dengan mempertimbangkan kemampuan adaptasi
daerah terhadap perubahan iklim yang sedang terjadi. Hal ini membutuhkan
konsistensi dengan mengadaptasikannya kepada rencana pengelolaan lingkungan dan
tata guna lahan. Hal ini telah mulai dilaksanakan oleh sebagian besar
pemerintah kabupaten dan kota di Aceh, termasuk pemerintah provinsi. Namun
perlu komitmen kuat untuk menjalankan perencanaan ini. Termasuk penggunaan
metode reward and punishment dalam
mengimplementasikan perencanaan tersebut.
Untuk memastikan
tidak adanya peningkatan risiko bencana yang disebabkan oleh pembangunan,
Pemerintah Aceh perlu melaksanakan mekanisme untuk menilai dampak risiko yang
ditimbulkan oleh pelaksanaan proyek pembangunan berskala besar. Hal ini tidak
hanya untuk menjamin keselamatan penduduk di sekitar proyek, namun juga untuk
menjamin keselamatan investasi pemilik modal dari risiko bencana yang mungkin
ditimbulkannya.
Tidak hanya untuk
proyek pada skala besar, mekanisme ini juga perlu dilaksanakan untuk
pembangunan daerah hunian masyarakat. Pembangunan daerah hunian baru ini harus
mampu melindungi masyarakat penghuninya dari ancaman bencana. Demikian halnya untuk
pembangunan daerah hunian baru pada masa pemulihan bencana. Pembangunan daerah
hunian ini perlu mempertimbangkan unsur pengurangan risiko sehingga tidak muncul
risiko bencana yang lama sekaligus menghindari kemungkinan paparan risiko baru
di daerah hunian baru tersebut.
5.
Memperkuat kesiapsiagaan terhadap bencana demi
respon yang efektif di semua tingkat
Seluruh
kabupaten/kota di Wilayah Aceh termasuk provinsi telah membentuk Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
yang pada skala provinsi disebut BPBA (Badan Penanggulangan
Bencana Aceh). Namun demikian BPBA/BPBD yang ada di Aceh belum didukung dengan
kebijakan, kapasitas teknis yang kuat untuk menjalankan mekanisme
penanggulangan bencana yang tersedia, khususnya untuk penanganan kedaruratan.
Dengan belum
adanya dukungan tersebut, penting untuk menyusun rencana kontinjensi untuk
bencana yang mungkin terjadi pada jangka waktu dekat dalam skala besar. Rencana
kontinjensi ini perlu disusun untuk mempersiapkan cadangan finansial dan
mekanisme lain yang dibutuhkan untuk proses penanganan darurat bencana dan
pemulihannya.
Rencana
kontinjensi ini perlu disusun sebagai pendukung penerapan prosedur operasi
standar penanganan darurat bencana yang telah disusun untuk bencana gempa bumi
dan tsunami di Aceh.