Laman

Minggu, 26 Desember 2010

" AKU DAN TSUNAMI 26Desember2004 "



Masih terbayang dalam ingatanku peristiwa besar enam tahun lalu tepatnya pada hari Minggu pagi yang cerah tanggal 26 Desember 2004. Aku bersama 2 orang anakku dan 1 keponakan  sedang berjalan- jalan mengendarai sebuah mobil menulusuri  kota Banda  Aceh. Biasanya pada hari Minggu sebagai hari libur, aku menyediakan waktu untuk keluarga dan anak anak dengan pergi mandi laut di pantai Ulelheu, namun  kegiatan mandi laut tersebut kami lakukan pada hari Sabtu tanggal 25 Desember bertepatan dengan liburan hari Natal sehingga pada hari Minggu aku hanya membawa anak anak  keliling kota.
Tepat jam 08.00 wib, diperjalannan dari lamprit mengarah ke kota / peunayong dan saat kami sedang berhenti di lampu merah  persimpangan Jambotape jalan T. Nyak Arief, tiba-tiba kami merasakan goyangan yang sangat besar mengguncang mobil yang kami tumpangi. Diawalnya kupikir ada orang atau teman yang iseng menggoyang mobil kami. Namun saat kuperhatikan tiang listrik dan toko-toko bergoyang seperti menari samba maka baru kusadari kalau ini adalah gempa. Tersadar akan posisi kami berada di sebelah tiang listrik, maka aku memajukan mobil  melewati lampu merah dan berhenti tepat  di ruang kosong di tengah persimpangan kemudian mematikan mesin mobil.
Gempa tersebut membuat anak-anak ketakutan dan panic sambil berteriak teriak. Aku coba menenangkan mereka dengan mengarahkan untuk tetap berada dalam mobil serta beristigfar. Disebelahku terlihat sebuah mobil angkot atau disebut labi-labi dimana penumpangnya panik dan turun dari kenderaan tersebut. Namun mereka tidak mampu untuk bertahan berdiri atau berjalan karena goyangan gempa tersebut sangat kuat dan berlangsung lama.
Setelah lebih kurang 5 menit, Gempa 8,9 SR tersebut pun berhenti. Dan jauh di arah depanku terlihat gumpalan abu menjulang ke langit. Aku kembali menghidupkan mobil dan melanjutkan jalan kami. Sampai di simpang lima baru kuketahui bahwa gumpalan abu tersebut berasal dari Pante Pirak supermarket yang telah rubuh. Hal ini mengelitikku untuk mengetahui kondisi asset keluarga berupa beberapa toko di peunayong apakah mengalami kerusakan juga ?
Dari simpang lima kami berbelok menuju peunayong dan disepanjang jalan terlihat orang orang sudah berhamburan keluar dari toko.  Alhamdulillah ternyata toko kami tidak mengalami kerusakan. Aku kembali teringak keadaan di rumah, ku ambil handphone untuk mecoba menghubungi orang di rumah dan “no signal”.
Secepatnya kami berbalik pulang menuju rumah di Geuce, sementara dijalanan sudah mulai terlihat kepanikan dan kesemrawutan lalu lintas. Setiba di rumah, orang-orang dirumah menyambut kami dengan dengan rasa khawatir. Di depan rumah ku melihat orang orang sudah berlarian menuju arah Ketapang dan berteriak air naik… air naik… hal ini membuatku heran, apa maksudnya air naik ? Yang terpikir oleh ku adalah air sungai yang melimpah keluar karena goyangan gempa, hal ini seperti yang terlihat pada kolam ikan di halaman rumah kami diman airnya tumpah ruah keluar.
Rasa penasaran membuat aku kembali keluar rumah untuk mengetahui apa yang terjadi. Dengan sepeda motor aku coba kembali kearah kota tetapi setibanya di simpang empat jam orang orang kembali berteriak air naik dan semua arah kendaraan berlawanan dengan arahku. Melihat situasi yang tidak lazim maka akupun kembali ke rumah. Kemudian kami dan keluarga ikut berlari menyelamatkan diri ke Peukan Bilui – Sibreh.
Sekitar pukul 10.00 wib, meninggalkan keluarga di tempat pengungsian aku kembali ke rumah. Alhamdulillah rumah kami selamat namun lebih kurang 500 m dari rumah terlihat lumpur banjir beserta sampah batang kayu besar, kendaraan, mayat dan sebagainya ada diatas jalan. Dalam hatiku berkata, “ Mungkinkah ini awal dari Kiamat ?”

bersambung ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar